Problematika Bisnis Produk Halal antara Peluang dan Tantangan


A. Pendahuluan

Setiap muslim berhak untuk makan makanan yang halal. Tidak hanya agama, tetapi juga kesehatan, ekonomi, dan keamanan.  Karena mayoritas penduduknya adalah muslim, negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak-hak mendasar mereka.  Dengan demikian, produsen juga seharusnya melindungi konsumen.     Untuk mencapai tujuan ini, negara harus memainkan peran yang lebih aktif dalam mengatur sistem ekonomi. Ini ditunjukkan dalam strategi yang digunakan pemerintah dan negara dalam menjalankan instrumen perdagangan dan bisnis di antaranya melalui peraturan. gaya hidup halal. Akhir-akhir ini, tengah melanda dunia. Ini terjadi tidak hanya di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim tetapi juga di negara-negara dengan mayoritas penduduk non-muslim.   

Wisata halal di seluruh dunia meningkat seiring dengan kesadaran akan makanan halal. Ini tidak hanya terbatas pada lokasi religius atau situs keislaman, tetapi juga mencakup hal-hal dasar wisata. Saat ini, perusahaan multinasional yang tersebar di seluruh dunia telah menerapkan sistem halal. Beberapa contohnya termasuk Japan Airlaines, Singapore AirLines, Qantas, Chatay Pacific (Hong Kong), dan America Airlines.   Selain itu, gejala ini muncul di Amerika Serikat, Australia, Jepang, Cina, India, dan Amerika Latin.  Jepang secara khusus memperhatikan perkembangan tren halal, seperti yang ditunjukkan oleh Japan Halal Expo yang penuh sesak yang berhasil menyedot perhatian banyak orang.  Saat ini ada 350 restoran di Jepang yang menawarkan makanan halal, termasuk restoran khusus Jepang, Japan Halal Expo adalah pameran berskala besar yang menampilkan produk halal buatan Jepang.

Dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik, istilah "halal" telah menjadi sangat populer di kalangan masyarakat umum dan sangat populer di kalangan bisnis. Bagi para pelaku bisnis, istilah ini memiliki makna yang luas, mencakup prospek bisnis di tingkat global. Karena konsep halal menjadi tren global dan alat pemasaran baru bagi banyak bisnis.  Sebagian besar merek terkenal telah mengeluarkan barang-barang dengan label halal.  Selain itu, prospek pasarnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kebutuhan akan barang dan jasa meningkat sebagai akibat dari tren gaya hidup halal di seluruh dunia.   Untuk menyediakan berbagai kebutuhan dan perlengkapan yang dimaksud, ini menjadi peluang bisnis yang menguntungkan bagi para bisnis dan industri terkait.

Data tentang kebutuhan akan gaya hidup halal sangat menarik. Penduduk dunia saat ini sekitar 7 miliar, dengan 25% adalah Muslim, menurut data yang dirilis oleh State of the Global Islamic Economic pada tahun 2014–2015.  Dengan mempertimbangkan 56 negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) total diperkirakan mencapai 6,7 triliun dolar.  Angka-angka ini jelas sangat besar, terutama jika dihitung dalam rupiah.

Dari jumlah itu, dana Muslim untuk gaya hidup halal meningkat 9,5 persen dari tahun sebelumnya, mencapai 2 triliun dolar pada tahun 2013. Pada tahun 2019, diperkirakan akan meningkat menjadi 3,7 triliun dolar.  Perinciannya adalah sebagai berikut: 1.292 miliar dolar untuk industri makanan dan minuman; 1.214 miliar dolar untuk industri keuangan; 140 miliar dolar untuk industri pariwisata dan trevel; 266 miliar dolar untuk pakaian; 72 miliar dolar untuk farmasi dan perobatan; 185 miliar dolar untuk media dan rekreasi; dan 46 miliar dolar untuk kosmetik dan alat perias.

Dana yang dialokasikan untuk kebutuhan gaya hidup halal juga luar biasa bagi Muslim Indonesia.  Sektor makanan dan minuman menerima 190,4 miliar dolar; jasa keuangan menerima 36 miliar dolar; pariwisata dan trevel menerima 7,5 miliar dolar; pakaian menerima 18,8 miliar dolar; farmasi dan perobatan menerima 4,88 miliar dolar; media dan rekreasi menerima 9,37 miliar dolar; dan kosmetik menerima 3,44 miliar dolar.

Data menunjukkan bahwa bisnis halal sangat menarik di Indonesia. Sangat banyak peluang bisnis halal, tetapi ini tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim terhadap produk halal yang tidak seimbang. Menurut data yang dirilis oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), sertifikasi halal di Indonesia baru mencapai kurang dari 20%. Ini sedikit berbeda dengan angka yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, yang menyatakan bahwa persentase produk bersertifikat halal yang beredar dan belum bersertifikat halal dari tahun 2011 hingga 2014 adalah 26,11%. Selain itu, data Sertifikasi Halal yang dirilis LPPOM MUI Pusat hingga Oktober 2017 menunjukkan bahwa ada 6055 perusahaan yang melakukan sertifikasi halal, 7764 sertifikat dikeluarkan, dan 25984 produk yang didistribusikan.  

Sampai 2016, 32292 perusahaan melakukan sertifikasi halal, 33310 sertifikat dikeluarkan, dan 150156 produk didistribusikan. Dalam lima tahun terakhir, LPPOM-MUI menerbitkan 13.136 sertifikat halal dari 155.774 produk yang dijual di Jawa Barat, di mana jumlah penduduk muslim berkisar antara 85 dan 90 persen. Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 175.157 produk, hanya 103.382 produk, atau sekitar 59,01 persen, yang bersertifikat halal MUI.

Data menunjukkan bahwa, berdasarkan jumlah penduduk muslim yang mencapai 87% dari populasi Indonesia, kebutuhan produk halal masih sangat tinggi, tetapi masih jauh di bawah standar. Ini juga menunjukkan kendala yang kompleks dalam mendapatkan sertifikasi halal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk halal.


B. Potensi Bisnis Halal di Indonesia

Karena memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam industri pengembangan produk halal di seluruh dunia. Selain itu, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki pasar utamanya sendiri. Jika melihat informasi tentang prospek gaya hidup halal di seluruh dunia, Anda akan menemukan bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang.  Setiap orang Muslim yang miskin di dunia ini pasti membutuhkan segala sesuatu yang halal.  Tidak mengherankan bahwa saat ini sejumlah negara di seluruh dunia mulai bersaing untuk mengambil alih industri gaya hidup halal yang sangat besar ini. 

Berdasarkan lokasi geografisnya, Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan pasar farmasi tercepat di dunia.  Sejak 2011-2016, terdapat sekitar 239 perusahaan farmasi di Indonesia, dengan pertumbuhan rata-rata 20,6% per tahun di pasar farmasi Indonesia.  Sebagian besar industri farmasi terletak di Jawa Barat (39 persen), atau (94), Jawa Timur (20 persen), atau (47), dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (15 persen), atau (37).  Industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi senilai Rp12,9 triliun mendominasi sektor. Industri tersebut termasuk dalam lima investasi utama senilai US$700 juta untuk mencapai penanaman modal asing (PMA).

Selain itu, sektor farmasi menyumbang sekitar 27% dari pangsa pasar farmasi ASEAN. Sekitar 59% pasar farmasi Indonesia terdiri dari obat resep, dan sisanya 41% adalah obat bebas (over the counter/OTC).  Hal ini dikombinasikan dengan peningkatan kesadaran publik akan pentingnya kesehatan.  Pasar obat resep terdiri dari obat generik (sekitar 70 persen) dan obat paten (30 persen). Pasar obat generik relatif kecil (sekitar 8,3 persen dari total pasar obat resep), sehingga potensi pertumbuhan OGB akan meningkat sejalan dengan implementasi BPJS. Ini menunjukkan betapa besarnya potensi pasar untuk perusahaan farmasi di Indonesia.

Kemudian untuk produk makanan dan minuman, Indonesia dikenal dengan beragam banyak makanan khas. Setiap daerah mempunyai makanan khas masing-masing. Dan itu jumlahnya juga sangat banyak. Beberapa yang terkenal, sebut saja Pempek  Palembang,  Nasi  Padang,  Gudeg  Jogja.  Itu  beberapa  yang  terkenal.  Dan masih   sangat   banyak   yang   lainnya.   Tinggal   semua   makanan   itu   dipoles   dan disesuakan  dengan  lidah  pengunjung  dari  asing.  Dan  harus  halal  tentunya.23  Jika bisa  memoles  makanan  khas  dengan  baik,  ini  akan  menjadi  salah  satu  peluang yang  paling  besar,  yaitu  bisnis  makanan.  Selain  itu  juga  akan  mengangkat  nama kuliner Indonesia di kelas dunia.

Menurut laporan Global Islamic Economy Report 2016/201725, penduduk muslim di seluruh dunia membelanjakan lebih dari 1,9 triliun dolar dalam barang dan jasa di sektor ekonomi halal pada tahun 2015.  Pada saat yang sama, aset keuangan syariah diperkirakan sebesar 2 triliun dolar, diikuti oleh makanan dan minuman sebesar 1,2 triliun dolar, pakaian sebesar 243 miliar dolar, media dan rekreasi sebesar 189 miliar dolar, travel sebesar 151 miliar dolar, dan obat-obatan dan kosmetik sebesar 133 miliar dolar. Dengan pengeluaran sebesar 155 miliar dolar dalam industri makanan dan minuman, Indonesia adalah konsumen terbesar produk halal.


C. Peluang  Bisnis Halal Indonesia 

Pertumbuhan populasi muslim di Indonesia terkait erat dengan industri makanan halal.  Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pusat ekonomi halal terbesar di dunia karena mayoritas penduduknya adalah muslim. Sebuah laporan dari Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa, dengan jumlah penduduk muslim sebanyak 207.176.162 jiwa, atau 87,18% dari total penduduk. Pada tahun 2017, jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 261,9 juta jiwa, yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat dibandingkan dengan tahun 2010. Dengan demikian, dalam kurun waktu dari tahun 2010 hingga 2017, jumlah penduduk Indonesia telah meningkat menjadi 261,9 juta jiwa.

Jumlah penduduk muslim yang meningkat secara linier dipengaruhi oleh peningkatan permintaan produk halal. Ini dapat dilihat dari peningkatan permintaan produk halal. Pemerintah mengeluarkan UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal untuk melindungi konsumen yang berhak mengenakan produk yang sesuai dengan syariat Islam, baik dari bahan pembuat, proses pembuatan, hingga tahap pembungkusannya. Ini dibuat karena kepentingan penganut agama Islam.

Indonesia memiliki potensi perekonomian yang besar untuk berkembang menjadi bisnis yang menghasilkan lebih banyak uang karena keunggulannya sebagai negara agraris dan maritim.  Tingkat pertumbuhan produk halal rata-rata 7% per tahun, bersama dengan peningkatan kesadaran konsumen muslim terhadap produk halal dan peningkatan jumlah penduduk muslim menjadi 1,8 miliar dari 5,5 miliar orang di seluruh dunia. Dengan hal-hal yang disebutkan di atas, produsen dan pelaku bisnis halal telah merencanakan untuk memasuki pasar internasional dengan produk halal Indonesia. 

Konsumsi rumah tangga terus mendorong pertumbuhan ekonomi dengan 55,68 persen pada triwulan III 2017, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).  Untuk memenuhi kebutuhan tinggi keluarga Indonesia akan produk rumah tangga, diperlukan produk yang halal dan aman untuk konsumen muslim. 

Selain itu, Indonesia menduduki peringkat pertama di antara negara-negara yang mengonsumsi makanan halal.  Sebuah catatan dari Global Islamic Economy Report 2016/2017 menunjukkan bahwa penduduk muslim di seluruh dunia membelanjakan lebih dari $ 1,9 triliun pada barang dan jasa dalam industri halal pada tahun 2015.  Pada saat yang sama, nilai aset sektor keuangan syariah diperkirakan sebesar 2 triliun dolar, diikuti oleh sektor makanan dan minuman sebesar 1,2 triliun dolar, pakaian sebesar 243 miliar dolar, media dan rekreasi sebesar 189 miliar dolar, travel sebesar 151 miliar dolar, dan obat-obatan dan kosmetik sebesar 133 miliar dolar.34. Indonesia adalah konsumen terbesar produk halal di industri makanan dan minuman, dengan jumlah pengelompokan yang paling tinggi.

Indonesia ingin meningkatkan ekspor non-migas karena mayoritas penduduknya adalah muslim.  Oleh karena itu, Undang Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah dibuat di Indonesia untuk mengatur kehalalan produk. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi konsumen domestik terhadap produk impor yang telah diuji kualitasnya dan memastikan bahwa produk komoditas dapat diekspor ke negara-negara Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi (OKI). 

Sulit untuk menghindari persaingan bisnis dalam memperebutkan pasar produk halal di negara-negara tetangga ASEAN, termasuk Indonesia dan Malaysia. Sekitar 11% dari semua barang dan jasa di dunia adalah produk halal.  Sinergi antara negara muslim seperti Malaysia dan Indonesia sangat penting mengingat potensi yang sangat besar.  Industri makanan dan minuman, farmasi, dan kecantikan adalah bagian besar industri halal. 

Produk halal Indonesia memiliki peluang besar untuk bersaing dengan negara lain di MEA. Perusahaan, baik produsen maupun eksportir Indonesia, yang memiliki sertifikat halal akan membuat label halal pada produk mereka lebih mudah diterima oleh pembeli halal di negara lain. Sebagai contoh, jika seorang pembeli produk halal dari negara lain ingin membeli makanan kalengan, dan mereka memiliki dua pilihan yang sama, mereka cenderung memilih yang memiliki label halal karena mereka merasa yakin bahwa makanan yang mereka beli benar-benar halal dan baik. Misalnya, untuk daging hewan, penyembelihan dilakukan dengan memotong leher hewan untuk mengambil dagingnya.  Daging yang dihasilkan dari penyembelihan secara Islam adalah daging yang kaya rasa, lembut, aman, dan higienis.  Hal ini membuat pelanggan non-muslim tertarik pada produk yang dijamin halal.


D. Tantangan dan Hambatan Bisnis Produk halal di Indonesia 

Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, masih mengabaikan peluang bisnis halal di dalam negeri. Akibatnya, dalam jangka panjang, Indonesia terancam menjadi tujuan pasar halal terbesar di dunia daripada menjadi produsen dan pelaku produk halal utama di dunia. Ini adalah hasil dari kurangnya tindakan strategis yang dilakukan Indonesia untuk meningkatkan daya sainggnya agar dapat bersaing di tingkat internasional.

Bisnis Indonesia belum melihat industri halal sebagai peluang bisnis yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh sikap dasar pelaku usaha yang belum memiliki kesadaran budaya terhadap produk halal, meskipun industri halal sekarang menjadi trend global di seluruh dunia. Pelaku usaha ini mungkin belum menyadari pentingnya produk halal dan mungkin tidak berusaha untuk merebut pasar global. 

Banyak bisnis juga mengabaikan hak konsumen sambil mengejar keuntungan yang paling besar. Kedua, pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, pemerintah memberikan perlindungan yang lebih besar kepada para pelaku usaha daripada konsumen karena mereka dianggap memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian negara. Ketiga, pihak pelaku usaha dapat dengan mudah membeli kekuasaan untuk melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen dalam sistem sosial politik di mana tidak ada kepastian hukum. Keempat, dalam beberapa kasus, konspirasi antara pelaku usaha dan konsumen dapat terjadi.

Pasar farmasi Indonesia tumbuh paling cepat di Asia, tetapi paradoksnya, Indonesia tergantung pada impor obat dari negara non-Muslim. Bahan obat ini diimpor dari RRT, Kanada, AS, India, Jepang, dan beberapa negara di Eropa. Sekitar 95% dari bahan yang dibutuhkan untuk produksi obat sintetis diimpor dari negara-negara tersebut46.   Sejauh ini, kualitas bahan obat impor tersebut dipertanyakan.  Ini adalah alasan sertifikasi obat di Indonesia masih di bawah 1% hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh pemerintah yang kurang memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan industri halal.  Bahkan lebih parah, kementerian kesehatan menolak sertifikasi obat halal.  

Meskipun UU JPH telah disahkan pada tahun 2014, tetapi belum berlaku sampai saat ini.   Namun, UU JPH dimaksudkan untuk melengkapi semua undang-undang halal.   Hal ini menyebabkan industri halal Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara lain.  Selain itu, ada hambatan dalam proses perubahan RUU menjadi UU Jaminan Produk Halal (JPH).   Beberapa hambatan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ada keyakinan bahwa RUU Jaminan Produk adalah undang-undang yang tidak berwawasan kebangsaan, tidak pluralis, dan diskriminatif. Ini karena ia lebih mengutamakan kepentingan kelompok Islam yang mayoritas di Indonesia; Kedua, RUU Jaminan Produk Halal dianggap tidak sah secara hukum karena Komisi VIII DPR RI tidak melibatkan semua pihak secara efektif dan tidak aspiratif. Ketiga, selama pembahasan RUU tersebut, Departemen Agama dan MUI saling bertentangan karena LP POM-MUI adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan sertifikat halal. Diputuskan bahwa hanya melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan halal. setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboratorium secara saksama, MUI ingin RUU Jaminan produk Halal mengukuhkan MUI sebagai otoritas tunggal.     Pemerintah, bagaimanapun, memiliki keinginan yang berbeda.  MUI berharap Depag mempertahankan lembaga yang selama ini telah mapan karena otoritasnya direduksi hanya menjadi lembaga fatwa halal, sedangkan Depag mengeluarkan sertifikat halal. 

Salah satu masalah lain adalah bagaimana masyarakat menanggapi produk bersertifikat halal.   Menurut Sukoso dalam seminar Simposium Nasional Produk Halal Indonesia, para cendekiawan muslim benar-benar menyadari hal ini.  Ia menunjukkan betapa pentingnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mempelajari barang yang dihalalkan, terutama barang yang dikonsumsi seperti makanan dan obat-obatan.  Kami menyadari dan memahami sepenuhnya fakta bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Sebanyak 82% orang Indonesia beragama Islam.  Namun, ini sangat paradoks mengingat keadaan industri halal saat ini yang tidak menguntungkan.  Namun, negara-negara lain seperti Jepang, Thailand, dan Korea Selatan, yang mayoritas penduduknya tidak beragama Islam, justru memperhatikan industri produk halal.

Beberapa faktor memengaruhi reaksi masyarakat terhadap sertifikasi produk halal tersebut. Yang pertama adalah keyakinan moral agama. Diskursus halal adalah ajaran agama yang berasal dari wahyu dan memiliki sifat teks normatif.    Oleh karena itu, semua orang yang beragama Islam meyakini teks tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai cara untuk mengabdikan diri kepada Allah. Namun, beberapa muslim tidak mampu memahami dan menerapkan teks tersebut sebagai hukum yang hidup, sehingga sikap manusia harus diubah.  Di sinilah teori double movement sangat penting.  Teori ini menunjukkan bahwa seluruh aturan agama berasal dari wahyu yang diberikan kepada manusia untuk digunakan untuk kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, proses hidup manusia yang didasarkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam wahyu tersebut merupakan dasar untuk pengabdian manusia kepada Allah SWT.

Kedua, pertimbangan keuangan.  Ini adalah hal-hal yang sering kali diutamakan oleh produsen dan konsumen dalam mengubah pandangan mereka tentang sertifikasi produk halal. Proses perubahan sikap dipengaruhi oleh tiga proses sosial, menurut Kelman: kesediaan (konformitas), identifikasi (identifikasi), dan internalisasi.

Kualitas makanan yang diproduksi dan dikonsumsi akan berdampak pada keselamatan pangan (safety food) jika produsen dan konsumen bersedia mengubah sikap mereka tentang cara mereka memproduksi makanan dan cara mereka membelinya. Hal ini juga berlaku untuk proses identifikasi dan internalisasi produk makanan lainnya. Namun, menurut Donald Black, stratifikasi, morfologi, budaya, organisasi, dan kontrol sosial adalah semua komponen perilaku seseorang terhadap hukum.

Ketiga, aspek hukum.   Dalam melaksanakan unit usahanya, pelaku usaha harus selalu berpegang pada peraturan perundang-undangan dan beriktikad baik terhadap tatanan peraturan perundang-undangan.Faktor-faktor berikut dapat menyebabkan ketimpangan sosial dan memiliki konsekuensi hukum pada proses selanjutnya: penggunaan bahan yang dilarang agama, penggunaan zat adiktif tanpa prosedur yang diperlukan, dan sebagainya.  Dengan demikian, prinsip-prinsip dasar hukum ekonomi yang harus dipertimbangkan termasuk "asas keseimbangan kepentingan, asas keterbukaan dan tanggung jawab, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara."

Keempat, aspek budaya.  Secara umum, ada perbedaan pendapat dari masing-masing pembeli tentang cara mereka membeli barang apa pun.  Faktor budaya adalah sumber dari perbedaan pendapat ini, seperti: 1) budaya akan memengaruhi struktur konsumsi; 2) budaya akan memengaruhi cara orang membuat keputusan; dan 3) budaya adalah faktor utama dalam pembuatan dan komunikasi makna produk.    Strategi untuk memahami budaya konsumen sangat penting karena akan memengaruhi bagaimana mereka bertindak. 

Sejauh ini, sikap sebagian besar masyarakat dipengaruhi oleh budaya konsumerisme dan sikap hedonis.  Berbicara tentang halal-haram, termasuk makanan halal, menjadi kurang penting.  Bagi sebagian masyarakat, membeli sejumlah besar barang merupakan tanda kemakmuran, dan banyak orang menyukainya. Belanja gila adalah proses membeli sesuatu tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan uang yang tersedia.   Akibatnya, banyak orang tidak mempertimbangkan produk halal, termasuk diri mereka sendiri.  

Kelima, lokasi.   Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel geografis memengaruhi perbedaan besar dalam perbelanjaan makanan, obat-obatan, dan kosmetik antara masyarakat perkotaan dan pedesaan.    Begitu pula, masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki pola hidup dan budaya konsumerisme yang cukup berbeda.  Menurut Russel, komponen keterpengaruhan di atas menunjukkan bahwa kondisi konsumen juga dapat memengaruhi perilaku mereka.  1) Lingkungan fisik (sifat nyata dari situasi konsumen) yang mencakup lokasi geografis; 2) Lingkungan sosial (ada atau tidaknya orang lain dalam situasi tersebut; dan 3) Waktu, sifat sementara dari situasi saat perilaku terjadi; dan 4) Tugas, tujuan, atau sasaran tertentu yang dimiliki konsumen dalam situasi tersebut.  5) Keadaan anteseden, atau kondisi hati sementara. 


E. Optimalisasi dan Solusi Bisnis Produk Halal di Indonesia 

Jika kita telah mengetahui bahwa Indonesia memiliki banyak peluang bisnis dalam hal gaya hidup halal di tingkat global, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengoptimalkan peluang tersebut.     untuk meningkatkan potensi tersebut melalui pengembangan gaya hidup halal di seluruh dunia. karena kita tidak ingin negara lain mengambil alih budaya halal yang kaya raya ini. Sumber daya alam dan manusia kita sangat banyak, jadi kita harus mampu mengelola sumber daya secara optimal.  untuk memenuhi permintaan kehidupan halal di dalam dan luar negeri.

Bukanlah sesuatu yang mustahil untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal global.  Bahkan Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mendapatkannya.Tinggal bagaimana kita mengelolanya, apakah kita bisa mengelolanya dengan baik dan benar, sehingga Indonesia benar-benar menjadi pusat industri gaya hidup halal, bukan hanya percakapan. Akan mudah bagi kita untuk menarik miliarder Muslim kaya dari Timur Tengah ke Indonesia jika itu bisa terjadi.  Ini akan menghasilkan keuntungan bagi ekonomi nasional serta pihak yang terlibat dalam gaya hidup halal di Indonesia. 

Untuk mengoptimalkan potensi gaya hidup halal di Indonesia, ada beberapa strategi yang harus diterapkan. Yang pertama adalah peran dan intervensi pemerintah. Salah satu kebutuhan dasar manusia dan kebutuhan hidup orang banyak termasuk pangan dan kesehatan. Sertifikat halal adalah cara negara menjamin rakyatnya dan mengurangi konflik.  Stabilitas ekonomi dan politik dapat terganggu oleh masalah di bidang pangan, obat-obatan, kosmetik, dan alat pakai. 

Oleh karena itu, penting bagi negara untuk menjaga stabilitas negara. Masyarakat akan tidak stabil jika pemenuhan kebutuhan dasar ini diabaikan. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memastikan tidak hanya ketersediaan makanan, obat, dan kosmetik, tetapi juga kehalalan produk tersebut sebagai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara diberi kemerdekaan untuk memeluk agamanya sendiri dan beribadah menurut agama dan kepercayaan mereka sendiri. Pemerintah negara ini, yang memiliki otoritas dalam sistem politik, bertanggung jawab untuk memecahkan masalah masyarakat untuk mencapai kemaslahatan dan stabilitas nasional dengan membuat kebijakan yang mengikat rakyat.   Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Undang-undang, misalnya, menetapkan kebijakan pangan pemerintah. Peraturan ini memberikan jaminan produk melalui pelaksanaan sertifikasi halal.

Kedua, Roscoe Pound menyatakan bahwa, "Hukum adalah alat teknik sosial", yang berarti bahwa undang-undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) harus dapat berfungsi sebagai alat yang dapat meng-engineer transformasi.  Ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan masyarakat tentang cara menjalankan UU JPH, yang harus dilengkapi dengan berbagai alat yang memungkinkan akses ke pasar digital menjadi hal yang halal dengan sistem yang pasti berbasis syariah.   Pasar Indonesia yang sangat besar dan potensial akan memiliki dua peran jika itu terwujud.   Pertama, karena industri ini berfokus pada pembuatan dan penerimaan produk halal, produk yang tidak memiliki sertifikasi halal tidak dapat masuk ke Indonesia. Dengan demikian, UU JPH dapat melindungi industri dalam negeri dari produk yang dibuat di luar negeri yang tidak halal.  Kedua, Indonesia cepat terdorong untuk menjadi negara industri halal di bidang makanan, mode, keuangan, dan pariwisata yang sangat dihormati. 

Ketiga, industri dan sumber daya manusia harus dikembangkan.  Orang-orang yang mendorong industri gaya hidup halal juga harus dikembangkan. Utamanya untuk sumber daya manusia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan teknis lapangan. Jika sumber daya manusia sudah berkembang dengan baik, yang lain juga akan melakukannya. Pengembangan sumber daya manusia diikuti oleh pengembangan industri. Dalam industri pangan, farmasi, kosmetik, dan lainnya, telah terjadi ketimpangan sumber daya manusia. Banyak karyawan yang mahir dalam teknologi pangan, farmakologi, dan lainnya, tetapi tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang halal-haram. Alternatifnya, mereka memahami dan mahir dalam hal halal-haram, tetapi tidak memiliki keahlian dalam bidang sains dan teknologi seperti pangan dan farmasi.  Akibatnya, mereka berbeda dan tidak saling memahami. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan mewujudkan gaya hidup halal, diperlukan tenaga ahli yang sangat mahir dalam bidang sains dan memiliki pemahaman agama yang kuat. Jika tidak, kita akan selalu kalah dengan negara-negara lain dan ketinggalan dalam hal konsumsi, bahkan di bawah negara-negara non-muslim. 

Keempat, menjadikan sertifikasi halal sebagai bagian dari layanan yang luar biasa. Bagian penting dari strategi bisnis untuk mempertahankan pelanggan adalah memberikan layanan terbaik.  Dunia bisnis akan sangat terjerat jika pelayanan terbaik diabaikan. Pelanggan akan meninggalkan toko untuk selamanya jika mereka kecewa dengan produk yang ditawarkan karena diragukan kehalalannya.  seperti yang terjadi pada produk Viostin DS dan Enzyplex, yang telah dinyatakan positif mengandung DNA babi baru-baru ini.  Kehalalan produk sangat penting bagi pelanggan muslim. Dengan demikian, mereka akan memilih barang yang dijamin keasliannya melalui sertifikasi. Karena itu, penyediaan produk halal harus menjadi bagian dari layanan yang luar biasa bagi produsen dan pengusaha untuk memberikan kenyamanan, keamanan, ketenangan, dan kepuasan kepada pelanggan muslim. Untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, produk bersertifikat halal akan laku terjual.

Untuk mendorong akselerasi tren gaya hidup halal di Indonesia, dibutuhkan dukungan dari semua pihak. Untuk menjadikan Indonesia pusat pengembangan industri gaya hidup halal di masa depan, berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan gaya hidup halal seperti pemerintah selaku pemangku kebijakan negara dan masyarakat umum sebagai masyarakat umum Sebagai negara yang memiliki peluang yang sangat besar, diharapkan bahwa peningkatan tren gaya hidup halal akan menjawab potensi besarnya.


F. Kesimpulan 

Dengan konsumen terbesar di dunia, Indonesia menjadi surga bagi produk halal.  sebagaimana yang diumumkan oleh Laporan Ekonomi Islam dari tahun 2013 hingga saat ini. Bisnis makanan dan minuman memiliki banyak peluang untuk menghasilkan keuntungan besar karena banyak peluang bisnis terbuka.  Halal menunjukkan tren.  Sertifikasi halal telah menunjukkan dampak positif yang signifikan terhadap peningkatan produk halal, meskipun prosesnya masih lambat.  

Hambatan dan kesulitan selalu ada dalam dunia bisnis, dan itu adalah hal yang normal.  Namun, semua tantangan dan hambatan tersebut dapat diatasi dengan optimisme, kecerdasan untuk membaca peluang, dan kemampuan untuk menemukan solusi yang tepat.  Para pebisnis takut kehilangan tren, pelanggan, dan pada akhirnya diri mereka sendiri jika mereka ingin mendapatkan keuntungan besar dengan cara yang salah, seperti menjual barang haram.  Karena itu, menyediakan produk halal harus menjadi kewajiban bisnis, bukan lagi pilihan.   Jika dilaksanakan dengan baik dan segera, UU JPH saat ini akan menawarkan solusi terbaik untuk peluang bisnis halal.   Untuk menghindari kehilangan pelanggan, perusahaan harus melihat peluang dengan menyertakan sertifikasi halal sebagai bagian dari layanan prima atau layanan luar biasa mereka.


G. Daftar Pustaka

Agus, Panji Adam. “Kedudukan Sertifikasi Halal Dalam Sistem Hukum Nasional Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Islam.” Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah 1, no. 1 (2017): 150–65. https://doi.org/10.29313/amwaluna.v1i1.2172. 

Ali, Muchtar. “Konsep Makanan Halal Dalam Tinjauan Syariah Dan Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri Halal.” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 2 (2016): 291–306. https://doi.org/10.15408/ajis.v16i2.4459. 

Arif, Zainal. “Optimalisasi Peluang Dan Tantangan Ekonomi Islam Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean.” Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking 1, no. 1 (2019): 89. https://doi.org/10.31000/almaal.v1i1.1817. 

Astuti, An Ras Try, and Rukiah. “Bisnis Halal Dalam Perspektif Etika Islam: Kajian Teoritis.” Al MA’ ARIEF: Jurnal Pendidikan Sosial Dan Budaya 1, no. 2 (2019): 142–56.

Black, Donald, The Behavior of Law, New York: Academic Press. 1976 Eka Dewi Satriana Hayyun Durrotul Faridah. “Wisata Halal: Perkembangan, Peluang, Dan Tantangan.” Journal of Halal Product and Research (JHPR) 01, no. 02 (2018): 32–43.

Fithriana, Arin, and Rendy Putra Kusuma. “Implementasi Kebijakan Pangan Halal Indonesia: Keunggulan Kompetitif Dalam Tren Pangan Halal Di Asia Tenggara.” Global Insight Journal 03, no. 02 (2018): 1–18. 

Haerisma, Alvien Septian. “Pengembangan Pariwisata Halal Di Indonesia Tinjauan Etika Bisnis Islam.” Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam 3, no. 2 (2018): 153–68.

Hidayat, Asep Syarifuddin, and Mustolih Siradj. “Legal Arguments of Halal Product Guarantee (Argumentasi Hukum Jaminan Produk Halal).” Jurnal Bimas Islam8, no. 1 (2015): 31–66. 

Hidayat, Asep Syarifuddin, and Mustolih Siradj. “Sertifikasi Halal Dan Sertifikasi Non Halal.” AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah 15, no. 2 (2015): 199–210. https://doi.org/10.15408/ajis.v15i2.2864. 

Istikomah. “Peluang Dan Tantangan Implementasi Uu Jph (Studi Analisis Atas Uu No. 33 Tentang Jaminan Produk Halal).” At-Tasharruf; Jurnal Kajian Ekonomi Dan Bisnis Syariah 1, no. 1 (2019): 18–28.

Nurdin, Nasrullah. “Bisnis Wisata Halal.” Dialog 42, no. 1 (2019): 107–10.

Waharini, Faqiatul Mariya, and Anissa Hakim Purwantini. “Model Pengembangan Industri Halal Food Di Indonesia.” Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah 9, no. 1 (2018): 1. https://doi.org/10.18326/muqtasid.v9i1.1-13.

Yulia, Lady. “Strategy Strategi Pengembangan Industri Produk Halal.” Jurnal Bimas Islam 8, no. 1 (2015): 121–62. 294


#UNMA

#MAGISTERHUKUM

#TUGAS 

#UTS

#UNIVERSITASMATLAULANWAR








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Definisi Transportasi Menurut Para Ahli

ASAS dan PERJANJIAN DALAM PENGANGKUTAN

HUKUM ASURANSI KREDIT