DINAMIKA PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA KORUPSI
DINAMIKA PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENEGAKAN
HUKUM PIDANA KORUPSI
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 (amandemen Ke-IV), Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machstaat). Sebaliknya, itu adalah negara hukum (rechtsstaat) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Negara hukum juga menjaga hak asasi manusia dan menjamin bahwa setiap warga negara memiliki kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Ini berarti bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan mereka harus didasarkan pada hukum, dengan mengutamakan kepentingan hukum daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini akan menghasilkan suatu masyarakat yang hidup dan tunduk pada hukum yang selaras dengan perasaan dan undang-undang.
Oleh karena itu, kepemimpinan hukum dan supremasi hukum berarti bahwa setiap tindakan aparat penegak hukum harus tunduk pada konstitusi, undang-undang, dan mengandung nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Termasuk ketika hakim harus mematuhi peraturan perundangan yang diancamkan kepada pelaku tindak pidana karena mereka telah melanggar nilai-nilai keadilan masyarakat.
Menurut Andi Hamzah, korupsi didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang buruk, busuk, bejat, suka disuap, menghina atau mefitnah, menyimpan uang, atau melakukan sesuatu yang tidak pantas. Menurutnya, korupsi didefinisikan sebagai perbuatan jahat (kejahatan), yakni suatu perbuatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Orang yang bermoral baik tentu tidak akan melakukan korupsi. Korupsi merupakan kasus yang harus ditangani dengan sangat baik karena merupakan kejahatan yang luar biasa karena memiliki dampak yang sangat besar pada keuangan negara dan perekonomian rakyat. Termasuk dalam hal penjatuhan pidana oleh hakim, yang dimaksudkan untuk mencegah pelaku dan mencegah masyarakat lain terpengaruh oleh tindak pidana serupa.
Untuk menghentikan perbuatan korupsi yang tersebar luas, telah banyak upaya dilakukan, baik melalui penegakan hukum pidana, yang mengutamakan sanksi pidana yang berat, maupun penanggulangan administratif, yang mencakup berbagai pengawasan di seluruh institusi. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa metode tersebut gagal menyelesaikan dan atau mentuntaskan korupsi.Menurut Kamus Hukum Andi Hamzah, korupsi didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang buruk, busuk, bejat, suka disuap, menghina atau mefitnah, menyimpan uang, atau melakukan sesuatu yang tidak pantas. Menurutnya, korupsi didefinisikan sebagai perbuatan jahat (kejahatan), yakni suatu perbuatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
Tingkat kejahatan korupsi yang tinggi menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi masih belum memadai, jauh dari harapan masyarakat. Ada banyak kasus korupsi yang sangat merugikan negara yang diungkapkan oleh penegak hukum (polisi, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi). Misalnya, kasus korupsi di PT Trans-Pacific Petrochemical, PT Asabri, PT Jiwasraya, Bank Century, Kementerian Sosial dan Kementerian Kelautan dan Perikana, serta PT. Bahkan dalam kasus tersebut, ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan oleh hakim jauh lebih ringan daripada tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan juga tidak sesuai dengan ancaman pidana yang ditetapkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
Mengingat bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi oleh hakim belum memberikan efek jera, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi di Indonesia tampaknya tidak habis-habisnya. Ayat (1) menyatakan bahwa "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dengan denda paling rendah Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling tinggi Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)".
Menurut Pasal 2 ayat 2 UU pemberantasan tindak pidana korupsi, hakim memiliki otoritas untuk menetapkan pidana mati bagi pelaku korupsi jika tindakan tersebut dilakukan dalam “keadaan tertentu (keadaan darurat)”.Keadaan bahaya, bencana alam, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi dan moneter, dan tindak pidana korupsi dianggap sebagai keadaan tertentu atau keadaan darurat. Dalam situasi tertentu, tindakan korupsi dapat dihukum. Namun, pasal ini tidak pernah digunakan dalam keputusan hakim karena ancaman pidana yang disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 tersebut lebih bersifat opsional daripada wajib. Kebanyakan hakim lebih berfokus pada teks daripada konsep sebagaimana dimaksud dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam hal perlindungan hak asasi manusia terhadap penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang " dinamika perlindungan ham dalam penegakan hukum pidana korupsi” karena tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa dan perlu dilakukan upaya yang luar biasa untuk menanganinya. Pengadilan yang bebas dan tidak memihak menjamin keadilan secara umum.
B. METODE
Jenis penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan perlindungan HAM dalam penegakan hukum pidana korupsi. Penelitian ini melihat hubungan antara ketentuan peraturan perudang-undangan yang benar-benar dilanggar oleh pelaku tindak pidana korupsi (das sollen) dan fakta-fakta dalam vonis hakim (das sain). Selain itu, penelitian ini juga melihat teori hukum lain yang mendukung teori ini. Sementara itu, ada empat pendekatan yang digunakan: pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan analitik (analitycal approach).
Sementara pengumpulan data sekunder, juga dikenal sebagai penelusuran buku (library reseach), terdiri dari bahan hukum primer, yang merupakan bahan hukum pokok atau dokumen hukum utama, seperti peraturan perudang-undangan, putusan pengadilan, dan sebagainya. Bahan hukum sekunder juga terdiri dari dokumen hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku, artikel, jurnal, atau penelitian yang relevan.
Analisis data yang digunakan adalah anasis data kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Ini berarti bahwa data dikumpulkan, disusun, dikelompokkan, dan dianalisis secara deskriptif, sistematis, logis, dan koheren sehingga dapat diuji kebenarannya. Setelah itu, kesimpulan dibuat, beralih dari induktif ke deduktif.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pertimbangan Hakim dalam Penegakan Hukum Pada Tindak Pidana Korupsi
Dalam hal menentukan apakah pengadilan menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi, prinsipnya adalah bahwa keputusan pengadilan adalah mahkota bagi hakim, dan inti dari mahkota tersebut terletak pada pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum putusan sangat penting karena terkait dengan pertanggungjawaban hakim terhadap keputusannya. Putusan hakim dalam pertimbangan hukum mengandung hukum penalaran dan penalaran yang didasarkan pada konstruksi dan interpretasi hukum. Ini digunakan sebagai dasar untuk menilai dan menguji bukti dalam persidangan. Uji verifikasi dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan harus dilakukan untuk menguji argumen atau dasar hukum tersebut. Untuk melakukannya, teori kebenaran dan keadilan harus diterapkan.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana, putusan yang dijatuhkan oleh hakim mengenai pelaku tindak pidana korupsi dengan ancaman minimum dianggap tidak sesuai dengan teori proposinal pemidanaan atau desert theory. Ini berarti bahwa setiap alat perlengkapan negara harus mengikuti aturan hukum yang berlaku saat melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hakim berfungsi sebagai penjabat negara dan merupakan alat perlengkapan negara di bawah kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung.
Hakim memiliki kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan tidak boleh diganggu oleh siapapun dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Namun, kekuasaan yang bebas ini tidak berarti bahwa hakim tidak memiliki batas kekuasaan; sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang berlaku akan mengikat mereka dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam kasus tindak pidana korupsi, hakim tidak boleh memihak ketika mereka menjatuhkan pidana kepada terdakwa, terutama jika mereka melanggar ketentuan hukum atau bahkan melanggar ketentuan minimum UU PTPK.
Dalam kasus-kasus seperti Putusan Nomor 91/Pid.Sus/2011/PN.Pso dan Nomor 42/Pid.Sus.K/2012/PN.Mdn, dasar yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan hukuman yang paling ringan kepada terdakwa adalah dasar dari dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus tindak pidana korupsi. Hakim-hakim ini mengatur seluruh proses pemeriksaan di persidangan, termasuk pemeriksaan alat bukti dan barang bukti, baik yang dibawa oleh Penuntut Umum maupun oleh terdakwa melalui penasehat hukumnya. Ini berfungsi sebagai dasar bagi majelis untuk memutuskan kasus korupsi yang sedang mereka adili.
Penuntut Umum Tindak Pidana Korupsi membacakan dakwaan dan kemudian melakukan pemeriksaan alat bukti dan barang bukti. Selama persidangan, dia melakukan pemeriksaan saksi, ahli, dan surat-surat. Jika saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan tidak setuju dengan kesaksiannya, terdakwa melalui penasehat hukumnya mencatat kesaksian mereka.
Berdasarkan keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan terdakwa yang diberikan selama persidangan. Penuntut Umum kemudian membuktikan bahwa pelaku memiliki ciri-ciri tindak pidana korupsi yang didakwakan.Setelah itu, majelis hakim mempertimbangkan semua fakta yang terungkap selama persidangan, baik yang disampaikan oleh Penuntut Umum maupun penasehat hukum terdakwa. Setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, mereka memutuskan kasus korupsi. Ada beberapa hal yang memberatkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, seperti berikut:
1. Terdakwa tidak mendukung inisiatif pemerintah yang gencar memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia;
2. Terdakwa tidak bersikap sopan di persidangan; dan
3. Terdakwa memberikan keterangan yang berbohong dan berbelit-belit di persidangan.
Selain itu, ada pula hal-hal yang dapat meringankan hukuman pelaku tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Terdakwa tidak pernah melakukan tindak pidana sebelumnya;
2. Terdakwa selalu memberikan keterangan yang sama di persidangan; dan
3. Terdakwa mengakui kesalahannya.
Dalam pengadilan tindak pidana korupsi, hakim tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan tetapi juga hal-hal yang ringan. Setelah itu, hakim memberikan putusan kepada terdakwa, apakah itu pemidanaan, bebas, atau bebas dari segala tuntutan hukum.Hakim justru menjatuhkan putusan pidana di bawah ancaman minimum kepada para terdakwa dalam kasus 91/Pid.Sus/2011/PN.Pso dan 42/Pid.Sus.K/2012/PN.Mdn. Dengan demikian, kedua keputusan tersebut menunjukkan bahwa hakim membuktikan perbuatan terdakwa berdasarkan teori sistem pembuktian negatif, juga dikenal sebagai negatief wettellijk stelsel. Pasal 183 KUHAP menetapkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali ia memperoleh keyakinan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah bahwa suatu tindak pidana
Dalam tindak pidana korupsi pada putusan perkara Nomor: 91/Pid.Sus/2011/PN.Pso dan 42/Pid.Sus.K/2012/PN.Mdn, hakim selalu menggunakan desert theory atau proporsionalitas ketika mereka menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimum kepada pelaku tindak pidana korupsi. Dimana pidana yang dijatuhkan oleh hakim lebih mempertimbangkan kerugian keuangan negara yang besar atau kecil akibat tindakan terdakwa, bersama dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan faktor lain yang meringankan tindakan terdakwa selama persidangan. Hakim tidak berfungsi sebagai penegak undang-undang, melainkan sebagai penegak hukum; oleh karena itu, mereka mengutamakan nilai-nilai keadilan dan kebenaran bagi pencari keadilan. Dalam posisi mereka sebagai penegak hukum, mereka tidak harus bergantung pada seluruh isi undang-undang, karena mereka bukanlah corong undang-undang yang terikat pada undang-undang yang sudah ada, tetapi mereka bertindak sebagai penegak hukum.
Selain itu, ketika hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana minimum kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, mereka dapat mempertimbangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang harus membuktikan semua dakwaan dan bukti lainnya. Sebelum membuat keputusan, majelis hakim harus mempertimbangkan landasan yuridis—yang diwajibkan oleh Pasal 183 KUHAP—serta landasan non-yuridis (sosiologi), yaitu keyakinan hakim terhadap perbuatan terdakwa yang menunjukkan bahwa terdakwalah yang benar-benar melakukan tindak pidana tersebut. Secara filosofis, pertimbangan hakim lebih fokus pada makna dan esensial putusan pidana. Majelis hakim mempertimbangkan yuridis, non yuridis, dan filosofis. Kemudian, mereka mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang terjadi pada terdakwa selama proses pemeriksaan di persidangan. sehingga keputusan yang dibuat oleh majelis hakim tersebut dianggap sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU PTP Korupsi.
2. Perlindungan HAM terhadap Pidana Mati Kasus Korupsi
Secara kontekstual, Pasal 28A dan 28I Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bertentangan dengan penerapan pidana mati dari sudut pandang perlindungan Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD Tahun 1945 yang berbunyi: “bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Kemudian Pasal 28I ayat (1) menentukan: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Namun, Pasal 4 Undang-Undang Haka Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan, "hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku suurt adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Dalam Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) menyatakan bahwa:“everyone has the right to life, liberty and security of person” (setiap orang mempunyai hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri). Ketiga pasal ini memang tidak membahas hukuman mati secara khusus, tetapi ditafsirkan secara implisit untuk menghapus hukuman mati. Hal ini dibuktikan dengan mengutip Pasal 3 DUHAM saat mempertimbangkan instrumen internasional yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati. Menurut Ahmad Rostandi, berdasarkan dasar hukum sebagaimana disebutkan bahwa:
“Bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya sesuai dengan Pasal 28A UUD 1945. Ditegaskan pula dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945, hak untuk hidup itu merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Frasa yang menyatakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun artinya mutlak, tidak dapat dibatasi, tidak dapat dikurangi, dan tidak dapat ditunda. Dengan demikian pembatasan yang dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak bisa diberlakukan terhadap hak hidup. Tujuan utama pidana mati adalah mencabut hak hidup seseorang dengan sengaja, oleh karenanya secara terang benderang bertentangan dengan Pasal 28A juncto Pasal 28I ayat (1)”.
Sudah menjadi rahasia umum bagi para ahli hukum bahwa “criminal justicesystem is not infalible” sistem peradilan pidana tidak sempurna. Polisi, jaksa, dan hakim adalah manusia yang bias saja ketika menjalankan tugas mereka. Berkaitan dengan hukuman mati, kekeliruan ini dapat fatal karena penerapan hukuman mati tidak dapat diperbaiki. Walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah, orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan kembali lagi.
Bagi kelompok yang menentang hukuman mati, perjuangannya adalah untuk melindungi hak hidup, dan masalahnya hanya terfokus pada pelaku kejahatan dan siapa yang memperjuangkan mereka, yaitu korban dan calon korban.Kelompok lain berpendapat bahwa hukuman mati masih perlu diterapkan. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati akan memiliki efek jera, atau effect detteren, yang akan mencegah orang lain melakukan tindak pidana serupa.
Pada dasarnya, perdebatan dua arus kuat tersebut mencapai kesimpulan: bagaimana menjaga martabat dan harga diri manusia sebagai subjek peradaban ini, memastikan produktifitas peradabannya, dan mempertahankan eksistensinya sebagai manusia.Menurut doktrin humanisme, harmonisasi dan perdamaian umat dengan satu sama lain dan lingkungannya sangat penting.
Dalam kasus pengujian Undang-Undang Narkotika terhadap Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sendiri telah menetapkan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, seperti yang tercantum di bawah ini:
“Menimbang pula bahwa dengan memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepasdari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentanganya pidana mati dengan UUD 1945bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam undang-undang Narkotika yang dimohonkanpengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalamrangka pembaharuan hokum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupunpelaksanaan pidana mati dalam system peradilan pidana di Indonesia hendaklahmemperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yangbersifat khusus dan alternatif
b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yangapabila terpidana berkelalukuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumurhidup atau selama 20 tahun;
c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwaditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakitjiwa tersebut sembuh”.
Dalam menentukan apakah hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, penting untuk mempertimbangkan korban yang hak hidupnya diambil oleh pelaku serta kemungkinan kehilangan hak hidup bagi orang lain. Dalam konteks perlindungan hak hidup atas nama perlindungan HAM, interpretasi parsial tentang pelarangan hukuman mati atau klaim bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia akan sangat dangkal dan tidak proporsional.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa Dalam menjatuhkan putusan pidana dibawah ancaman minimum kepada pelaku tindak pidana korupsi, hakim mempertimbangkan teori sistem pembuktian negatif yang tersirat dalam Pasal 183 KUHAP. Dalam hal ini, majelis hakim harus mempertimbangkan landasan secara yuridis dan non-yuridis, serta mempertimbangkan landasan secara filosofis. Sementara hakim selalu berpatokan pada desert theory atau juga dikenal sebagai teori proporsionalitas, ketika mereka menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi di bawah ancaman minimum. Teori ini memungkinkan hakim untuk mempertimbangkan seberapa besar kerugian keuangan negara yang dilakukan terdakwa, serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dan faktor lain yang membantu terdakwa selama persidangan.
Jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia, penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A ayat (1), 28I ayat (1) UUD Tahun 1945, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 3 DUHAM. Namun, jika dilihat dari sudut pandang kontekstual, penafsiran extentif dan teleologis akan menghasilkan penegakan hukuman mati.
E. REFERENSI
Abdullah, 2018, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan,Penerbit Program Pascasarjana Universitas Sunan Giri, Surabaya.
Alfitra, 2020, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi Di Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup),Jakarta.
Andi Hamzah, 2017, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chaerudin, 2019,Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung
Djaja,Ermansjah, 2017, Memberantas Korupsi Bersama KPK, PT Sinar Grafika, Jakarata.
Harahap,Yahya,2018, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Harefa, A. (2020). Analisis Hukum Terhadap Penjatuhan Pidana Di Bawah Ancaman Minimum Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Education and Development, 8(1), 434-434.
Harefa, A., & Ndruru,A. (2022). Perspektif Psikologi Kriminil Terhadap Penyebab Terjadinya Juvenile Delinquency Ditinjau Dari Aspek Kriminologi. Jurnal Panah Keadilan, 1(2).Harefa, A. (2017). Perlindungan Hukum terhadap Saksi dalam Perkara Korupsi di Kepolisian Polresta Nias. Jurnal Education and Development, 7(5), 90-90.
Harefa, A., & Daliwu, S. Teori Pendidikan Pancasila dan Antikorupsi. Penerbit Lutfi Gilang.
Hamzah,Andi,(II), 2021, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muwahid, Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Upaya Progresif dalam Pemberantasan Korupsi), IAIN Sunan Ampel Respository, Puslit UINSA.
Supardi H, 2018, Perampasan Harta Hasil Korupsi (Perspektif Hukum Pidana yang Berkeadilan, Jakarta Timur, Penerbit Prenadamedia Grup.
Rusianto Agus, 2016, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya), Jakarta Timur, Penerbit Prenadamedia Grup.
Pradjonggo,Sridjaja Tjandra,2010,Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,Indonesia Lawyer Club,Surabaya
Prodjohamidjojo,Martiman, 2019, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999, CV Mandar Madju, Bandung.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006, tentang pengujian Pasal 2 ayat 1 dan 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia,Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP)
_______,Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana.
_______,Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
_______,Undang-UndangRepublik IndonesiaNomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
_______,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
R. Wiyono, 2008, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Penerbit PT. Sinar Grafika.
Sianturi,S.R.,2022,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,Penerbit Alumni Ahem. Petehaem, Jakarta
Supardi H., 2021, Perampasan Harta Hasil Korupsi Perspektif Hukum Pidana yang Berkeadilan, Penerbit Prenadamedia Grup, JakartaTimur.
Undanga-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke-IV (Empat)
_______Nomor 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
________Nomor 39 Tahun 1999 tentangPerlindungan Hak Asasi Manusia.
________Nomor 26 Tahun 2000tentang Perngadilan Hak Asasi Manusia.
#UNMA
#pascasarjanaunma
#firmanchandra
#DINAMIKAPERLINDUNGANHUKUMDALAMPENEGAKANHUKUMPIDANAKORUPSI
#hukum
#lawscience
#banten
#pandeglang
#serang
Komentar
Posting Komentar