Tantangan Penegakan Hukum dan Implementasi Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Era Globalisasi
I. Pendahuluan
Hukum dan masyarakat adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahan satu sama lain. Berlakunya hukum itu berlangsung di dalam suatu tatanan sosial yang disebut dengan masyarakat. Pameo bangsa romawi yang menyatakan ubi societas ibi ius telah menggambarkan betapa eratnya hubungan antara hukum dan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus ditempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Sebagai contoh, tentang perbuatan melawan hukum dalam “Arrest Hoge Raad” atau putusan Mahkamah Agung Belanda pada bulan Januari 1919 atau sering juga diistilahkan dengan “Revolusi Bulan Januari”. Putusan tersebut tidak hanya mendefinisikan ulang terhadap makna perbuatan melawan hukum, tapi juga memberikan suatu lompatan besar dalam sejarah perkembangan hukum yang selalu mengalami progresifitas. Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 13 Januari 1919 membuat putusan yang mengatakan bahwa, “melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tapi juga bertentangan dengan tata susila dan kepatutan menurut masyarakat”.
Hal ini menjadi landasan kuat yang menegaskan bahwa hukum harus mengalami proses adaptasi sesuai dengan zamannya masing-masing. Inilah salah satu makna dasar dari hukum progresif. Hukum bukanlah sebagai sebuah sistem yang stagnan dan status quois, namun mengikuti jejak perkembangan sejarah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial masyarakat.
Masyarakat menghendaki hukum tidak lagi menjadi alat untuk kepentingan penguasa, ataupun kepentingan politik. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum yang berkeadilan. Sejalan dengan hal tersebut, realita dalam penegakan hukum seringkali mengabaikan rasa keadilan masyarakat mengingat secara tekstual substansi hukum lebih mensyaratkan pada adanya kepastian hukum. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakkan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta didasarkan atas sistem kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai. Tingkat perkembangan masyarakat tempat hukum diberlakukan mempengaruhi pola penegakan hukum, karena dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan differensiasi yang tinggi penggorganisasian penegak hukumnya juga semakin kompleks dan sangat birokratis. Kajian secara sistematis terhadap penegakan hukum dan keadilan secara teoritis dinyatakan efektif apabila 5 pilar hukum berjalan baik yakni: instrument hukumnya,aparat penegak hukumnya, faktor warga masyarakatnya yang terkena lingkup peraturan hukum, faktor kebudayaan atau legal culture, factor sarana dan fasilitas yang dapat mendukung pelaksanaan hukum .
Penegakan hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan pilar utama dalammewujudkan supremasi hukum dan keadilan di suatu negara. Namun, di era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, serta terbukanya batas-batas negara, terdapat tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi dalam upaya menegakkan hukum dan menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Globalisasi telah membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang hukum dan peradilan. Arus perpindahan barang, jasa, modal, dan manusia lintas batas negara yang semakin masif membuat permasalahan hukum menjadi semakin kompleks dan multidimensi. Di sisi lain, perkembangan media sosial dan teknologi digital telah memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru di dunia maya (cybercrime) yang menuntut adanya penyesuaian dalam sistem hukum dan peradilan.
Selain itu, globalisasi juga membawa pengaruh terhadap nilai-nilai dan budaya masyarakat, yang dapat berdampak pada persepsi dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Opini publik yang terbentuk di media sosial dapat mempengaruhi independensi dan kebebasan kekuasaan kehakiman dalam memutuskan perkara.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengkaji tantangan-tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum dan implementasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut.
II. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi dalam penegakan hukum di era globalisasi?
2. Tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi dalam implementasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi?
3. Upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut?
III. Pembahasan
A. Tantangan Penegakan Hukum di Era Globalisasi
Perkembangan Kejahatan Lintas Batas Negara (Transnational Crime) Globalisasi telah membuka peluang bagi perkembangan kejahatan lintas batas negara (transnational crime) seperti perdagangan narkoba, perdagangan manusia, pencucian uang, dan terorisme. Kejahatan-kejahatan ini melibatkan jaringan kriminal yang terorganisir dengan skala operasi yang melampaui batas-batas negara. Hal ini menimbulkan tantangan baru dalam penegakan hukum, seperti kesulitan dalam mengumpulkan bukti, perbedaan yurisdiksi hukum, dan koordinasi antar negara dalam penindakan (Shelley, 2018).
Kejahatan di Dunia Maya (Cybercrime) Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru di dunia maya (cybercrime) seperti pencurian data, peretasan sistem, penyebaran virus komputer, dan cyberbullying. Kejahatan-kejahatan ini memiliki karakteristik yang unik, seperti tidak terbatasnya ruang dan waktu, serta anonimitas pelaku. Hal ini menimbulkan tantangan dalam penegakan hukum, seperti kesulitan dalam mengidentifikasi dan melacak pelaku, serta kebutuhan untuk mengembangkan regulasi dan perangkat hukum yang mengatur kejahatan di dunia maya (Wall, 2017).
Konflik Yurisdiksi Hukum Globalisasi telah menciptakan situasi di mana suatu tindakan atau kejahatan dapat melibatkan lebih dari satu yurisdiksi hukum. Misalnya, dalam kasus kejahatan ekonomi lintas negara, terdapat potensi konflik yurisdiksi hukum antara negara tempat kejahatan dilakukan, negara tempat pelaku berada, dan negara tempat korban berada. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menentukan yurisdiksi hukum yang relevan dan koordinasi antar negara dalam penegakan hukum (Guzman, 2008).
Harmonisasi Hukum Internasional Globalisasi telah mendorong kebutuhan untuk harmonisasi hukum internasional, terutama dalam bidang-bidang seperti perdagangan, investasi, dan hak asasi manusia. Namun, proses harmonisasi hukum ini seringkali menghadapi tantangan seperti perbedaan sistem hukum, budaya, dan kepentingan nasional masing-masing negara. Hal ini dapat menghambat upaya penegakan hukum yang efektif dalam konteks lintas negara (Mattei & Monateri, 2017).
Tekanan Ekonomi dan Politik Dalam era globalisasi, penegakan hukum seringkali dihadapkan pada tekanan ekonomi dan politik dari aktor-aktor global seperti perusahaan multinasional, organisasi internasional, dan negara-negara adidaya. Tekanan ini dapat mempengaruhi independensi dan objektivitas penegakan hukum, serta menciptakan konflik kepentingan antara penegakan hukum dan isu-isu ekonomi dan politik (Brock, 2003).
B. Tantangan Implementasi Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Era Globalisasi
Pengaruh Opini Publik di Media Sosial Perkembangan media sosial telah memunculkan fenomena baru di mana opini publik dapat terbentuk dan disebarkan secara cepat dan masif. Opini publik yang terbentuk di media sosial dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap lembaga peradilan dan putusan-putusan yang diambil. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman, karena hakim dapat menghadapi tekanan dari opini publik yang kuat (Ciofu & Ciofu, 2019).
Ancaman terhadap Keamanan dan Kebebasan Hakim Di era globalisasi, hakim dan lembaga peradilan dapat menghadapi ancaman keamanan dan kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Ancaman ini dapat berasal dari kelompok-kelompok kriminal yang terorganisir, organisasi teroris, atau bahkan aktor-aktor negara yang ingin mempengaruhi proses peradilan. Situasi ini dapat mengganggu independensi dan objektivitas hakim dalam memutuskan perkara (Gasior, 2019).
Intervensi Kekuatan Global terhadap Proses Peradilan Dalam konteks globalisasi, terdapat potensi intervensi dari kekuatan-kekuatan global seperti negara-negara adidaya, organisasi internasional, atau perusahaan multinasional terhadap proses peradilan di suatu negara. Intervensi ini dapat dilakukan melalui tekanan politik, ekonomi, atau bahkan militer, dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan pengadilan agar sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini dapat mengancam kemerdekaan dan independensi kekuasaan kehakiman dalam memutuskan perkara secara adil dan objektif (Voeten, 2020).
Kurangnya Sumber Daya dan Kapasitas Lembaga Peradilan Di era globalisasi, lembaga peradilan dihadapkan pada peningkatan kompleksitas perkara yang ditangani, baik dari segi jenis perkara maupun skala perkaranya. Namun, seringkali lembaga peradilan menghadapi keterbatasan sumber daya, seperti anggaran, infrastruktur, dan sumber daya manusia yang memadai. Hal ini dapat menghambat kemampuan lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya secara efektif dan independen (Hammergren, 2014).
Tekanan Budaya dan Nilai-nilai Global Globalisasi juga membawa pengaruh terhadap budaya dan nilai-nilai masyarakat global. Terdapat risiko bahwa nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan dapat bertentangan dengan nilai-nilai lokal atau tradisional di suatu negara. Hal ini dapat menciptakan dilema bagi kekuasaan kehakiman dalam mengambil keputusan yang mencerminkan nilai-nilai global sekaligus nilai-nilai lokal (Hirschl, 2014).
Persepsi Negatif terhadap Lembaga Peradilan Di era globalisasi, lembaga peradilan seringkali menghadapi persepsi negatif dari masyarakat, seperti adanya korupsi, nepotisme, atau ketidakadilan dalam proses peradilan. Persepsi negatif ini dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan mengurangi legitimasi kekuasaan kehakiman. Hal ini dapat menjadi tantangan dalam menjaga kemerdekaan dan independensi kekuasaan kehakiman (Ríos-Figueroa, 2016).
C. Upaya-upaya dalam Menghadapi Tantangan
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan upaya-upaya dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, organisasi internasional, maupun masyarakat sipil. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan:
1. Peningkatan Kerja Sama Internasional dalam Penegakan Hukum dan Peradilan Menghadapi tantangan penegakan hukum dan peradilan di era globalisasi, diperlukan peningkatan kerja sama internasional antara negara-negara dan organisasi internasional. Kerja sama ini dapat meliputi pertukaran informasi, bantuan hukum timbal balik, ekstradisi, dan harmonisasi hukum dalam bidang-bidang tertentu. Hal ini dapat memfasilitasi penegakan hukum yang efektif dalam konteks lintas batas negara (Boister, 2015).
2. Pengembangan Regulasi dan Perangkat Hukum yang Mengatur Kejahatan di Dunia Maya Untuk menghadapi tantangan kejahatan di dunia maya (cybercrime), diperlukan pengembangan regulasi dan perangkat hukum yang khusus mengatur masalah ini. Regulasi ini harus mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan modus operandi kejahatan di dunia maya yang terus berubah. Selain itu, diperlukan peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan di dunia maya (Wall, 2017).
3. Penguatan Independensi dan Integritas Lembaga Peradilan Untuk menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi, diperlukan penguatan independensi dan integritas lembaga peradilan. Hal ini dapat dilakukan melalui reformasi sistem peradilan, peningkatan anggaran dan sumber daya, serta perlindungan bagi hakim dan aparat peradilan dari intervensi pihak luar. Selain itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam proses peradilan (Voeten, 2020).
4. Peningkatan Literasi Media Sosial dan Edukasi Publik Untuk menghadapi tantangan opini publik di media sosial, diperlukan peningkatan literasi media sosial dan edukasi kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak media sosial, mencegah penyebaran informasi palsu (hoaks), dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang peran dan fungsi lembaga peradilan (Ciofu & Ciofu, 2019).
5. Penguatan Kerjasama Internasional dalam Perlindungan Hakim dan Aparat Peradilan Untuk menghadapi ancaman keamanan terhadap hakim dan aparat peradilan, diperlukan penguatan kerjasama internasional dalam perlindungan dan pertukaran informasi. Negara-negara dapat bekerja sama dalam mengidentifikasi dan menindak kelompok-kelompok yang mengancam keamanan lembaga peradilan, serta memberikan perlindungan yang memadai bagi hakim dan aparat peradilan (Gasior, 2019).
6. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Pengawasan Peradilan Untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat sipil dalam pengawasan proses peradilan. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan lembaga pengawas independen, keterlibatan organisasi non-pemerintah (NGO), dan peningkatan transparansi dalam proses peradilan. Partisipasi masyarakat sipil dapat membantu menjaga integritas dan akuntabilitas lembaga peradilan (Ríos-Figueroa, 2016).
IV. Penutup
1. Kesimpulan
Tantangan penegakan hukum dan implementasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi adalah nyata dan kompleks. Globalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam bidang hukum dan peradilan, seperti perkembangan kejahatan lintas batas negara, kejahatan di dunia maya, konflik yurisdiksi hukum, serta pengaruh opini publik di media sosial.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan upaya yang komprehensif dan kolaboratif dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, organisasi internasional, maupun masyarakat sipil. Upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi peningkatan kerja sama internasional, pengembangan regulasi dan perangkat hukum yang mengatur kejahatan di dunia maya, penguatan independensi dan integritas lembaga peradilan, peningkatan literasi media sosial dan edukasi publik, penguatan kerjasama internasional dalam perlindungan hakim dan aparat peradilan, serta peningkatan partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan proses peradilan.
Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan tantangan penegakan hukum dan implementasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi dapat dihadapi secara efektif. Penegakan hukum yang konsisten dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terjamin akan menjadi kunci dalam mewujudkan supremasi hukum, keadilan, dan perlindungan hak-hak warga negara di tengah dinamika globalisasi yang terus berkembang.
2. Saran
1. Memperkuat Kerja Sama Internasional
o Pemerintah perlu mengintensifkan kerja sama internasional dalam bidang penegakan hukum, peradilan, dan perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral.
o Membentuk mekanisme koordinasi yang efektif antara negara-negara dalam menangani kejahatan lintas batas negara dan konflik yurisdiksi hukum.
o Meningkatkan partisipasi aktif dalam organisasi-organisasi internasional yang berkaitan dengan penegakan hukum dan peradilan, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga di bawahnya.
2. Reformasi Hukum dan Peradilan
o Melakukan reformasi hukum dan peradilan secara menyeluruh untuk meningkatkan efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam penegakan hukum dan proses peradilan.
o Memperkuat independensi lembaga peradilan dengan menjamin keamanan dan kebebasan hakim serta aparat peradilan dari intervensi pihak luar.
o Meningkatkan anggaran dan sumber daya untuk lembaga penegak hukum dan peradilan, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pengembangan kompetensi.
3. Peningkatan Literasi Digital dan Edukasi Publik
o Mengembangkan program literasi digital dan edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak media sosial, penyebaran informasi palsu (hoaks), dan pentingnya penegakan hukum yang adil.
o Melibatkan organisasi masyarakat sipil dan komunitas dalam upaya-upaya edukasi publik tentang hukum, keadilan, dan peran lembaga peradilan.
o Memanfaatkan media sosial sebagai saluran komunikasi yang efektif untuk menyebarkan informasi dan edukasi kepada masyarakat.
4. Pengembangan Regulasi dan Kerjasama dalam Penanganan Cybercrime
o Mengembangkan regulasi dan perangkat hukum yang komprehensif untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang semakin kompleks.
o Meningkatkan kerjasama internasional dalam pertukaran informasi, investigasi, dan penindakan terhadap pelaku cybercrime lintas batas negara.
o Memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan di dunia maya melalui pelatihan dan penyediaan peralatan yang memadai.
5. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Sipil
o Mendorong partisipasi aktif masyarakat sipil dalam pengawasan proses peradilan dan penegakan hukum melalui pembentukan lembaga pengawas independen atau keterlibatan organisasi non-pemerintah (NGO).
o Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan dengan mempublikasikan putusan-putusan pengadilan dan memberikan akses informasi kepada masyarakat.
o Memfasilitasi forum dialog antara lembaga peradilan, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk membahas isu-isu terkait penegakan hukum dan peradilan.
Dengan menerapkan saran-saran tersebut, diharapkan tantangan penegakan hukum dan implementasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di era globalisasi dapat dihadapi dengan lebih efektif, sehingga supremasi hukum dan keadilan dapat terwujud secara optimal.
Referensi :
1. Boister, N. (2015). Furthercodification of the international law of transnational criminal organizations. In Handbook of Transnational Criminal Organizations (pp. 1-35). Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing.
2. Brock, G. (2003). Cosmopolitan justice and accountability. In The Political Economy of Globalization (pp. 119-138). Springer, Boston, MA.
3. Ciofu, S., & Ciofu, I. (2019). The Impact of Social Media on the Judicial System. Proceedings of the International Conference on Business Excellence, 13(1), 224-233.
4. Gasior, K. (2019). Threats to the Independence of the Judiciary in Poland. German Law Journal, 20(7), 1012-1026.
5. Guzman, A. T. (2008). The Case for International Antitrust Policy. University of Chicago Law Review, 75(3), 1501-1548.
6. Hammergren, L. (2014). The Judiciary and the Challenges of Globalization. In The International Judge (pp. 215-233). Brill Nijhoff.
7. Hirschl, R. (2014). The Judicialization of Mega-Politics and the Threat to the Liberal Democracy. In Comparative Constitutional Theory (pp. 133-147). Edward Elgar Publishing.
8. Mattei, U., & Monateri, P. G. (2017). Introduction to Comparative Law. In Comparative Law: A Handbook (pp. 1-24). Springer, Cham.
9. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2016,cetakan ke IX hlm. 3
10. Ríos-Figueroa, J. (2016). Judicial Institutions and Accountability in New Democracies. In Judicial Independence in Latin America (pp. 1-25). Palgrave Macmillan, New York.
11. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2019, hlm. 61
12. Shelley, L. (2018). Transnational Organized Crime: An Overview. In Handbook of Transnational Crime and Justice (pp. 15-30). SAGE Publications, Inc.
13. Voeten, E. (2020). Judicial Independence amid Efforts to Preserve the Post-Cold War Order. In The Postwar Origins of Judicial Power (pp. 241-261). Cambridge University Press.
14. Wall, D. S. (2017). Crime, Security and Society. Palgrave Macmillan.
Komentar
Posting Komentar