MAKALAH HUKUM DAN PRAPERADILAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.[1]
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7). Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.[2] Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.[3]
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar praperadilan didalam makalah ini sesuai dengan literatur-literatur yang ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.
B.     TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai berikut.
1.      Untuk mengetahui pengertian praperadilan menurut KUHAP
2.      Untuk mengetahui acara Praperadilan menurut KUHAP
3.      Untuk mengetahui kedudukan Praperadilan menurut KUHAP
4.      Untuk mengetahui pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut KUHAP
5.      Untuk mengetahui fungsi Praperadilan menurut KUHAP
6.      Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP

C.    KEGUNAAN PENULISAN
Adapun kegunaan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.
1.      Sebagai informasi mengenai pengertian praperadilan bagi masyarakat.
2.      Sebagai informasi mengenai acara Praperadilan bagi masyarakat.
3.      Sebagai informasi mengenai kedudukan Praperadilan bagi masyarakat.
4.      Sebagai informasi mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan bagi masyarakat.
5.      Sebagai informasi mengenai fungsi Praperadilan bagi masyarakat.
6.      Sebagai informasi mengenai ruang lingkup Praperadilan bagi masyarakat.
D.RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini rumusan masalah adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Praperadilan menurut KUHAP?
2.      Bagaimana acara Praperadilan menurut KUHAP?
3.      Bagaimana kedudukan Praperadilan menurut KUHAP?
4.      Siapa sajakah pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut KUHAP?
5.      Bagaimana fungsi Praperadilan menurut KUHAP?
6.      Bagaimana ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    ISTILAH DAN PENGERTIAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Pra artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkata tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak. Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak.
            Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris ( hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.[4] Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup alas an untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu.
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa[5].
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alas an ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salahsatu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Hakim komisaris di negeri Belanda dapat selalu minta agar terdakwa dihadapkan kepadanya walaupun terdakwa diluar kehendaknya. Ia dapat meminta terdakwa dibawa kepadanya. Jika perlu untuk kepentingan pemeriksaan yang mendesak meminta dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat juga memeriksa saksi-saksi dan ahli-ahli. Oleh karena itu, menurut Van Bemmelen hakim komisaris itu memerlukan pengetahuan yang luas disamping pengetahuan yuridisnya seperti bagaimana memeriksa saksi dan terdakwa. Diperlukan pengetahuan psikologis untuk semua itu.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut.
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai berikut.
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
b.  Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Dalam penjelasan undang-undang, hanya pasal 80 yang diberi komentar, yaitu bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. Sebenarnya pasal 80 kuhap itu kurang tepat dalam perumusannya, karena yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan ialah penyidik, atau penuntut umum atau pihak ketiga. Menurut pendapat penulis, sesuai pula dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka penyidik dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penuntutan, dan sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jadi penuntut umum tidak secara langsung memerintahkan kepada penyidik untuk meneruskan suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Daalam hal ini ketentuan menyatakan bahwa pada setiap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum tidak mempunyai arti banyak.
Bagaimana hakim praperadilan itu diangkat dan untuk berapa lama pengangkatan itu tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pasal 78 kuhap hanya menyatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Di negeri Belanda hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan dua tahun. atas prmohonan mereka, mereka segera dapat diangkat kembali. Diitentukan juga bahwa mereka harus berpengalaman dalam perkara pidana, misalnya pernah bekerja dibagian pidana dipengadilan itu. Hakim komisaris itu diadakan untuk menjamin objektifitas sehingga mereka dilarang mengambil bagian dalam pemeriksaan akhir (pasal 268 Ned.Sv.) dalam kuhap tidak ada larangan semacam itu bagi seorang hakim praperadilan.
B.     ACARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian [enyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.
1.      Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
2.      Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penanhanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada bentda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
3.      Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
4.   Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
5.      Putusan praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penutut umu, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut dalam butir satu sampai dengan butir lima ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6.      Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP).
7.      Selain daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu memuat pula:
a.      Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b.      Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau pentuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c.     Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumlan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian, penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d.   Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

C.    KEDUDUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
        Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka Praperadilan berwenang untuk:
1. Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
        Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara yang agak menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja, memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.
        Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali. Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa (buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan.
D.    PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
        Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat hubungannya dengan jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada praperadilan itu sendiri. Dengan demikian maka pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan dikelompokkan menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya permintaan pemeriksaan praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan.
a)  Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHAP, pihak Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi kuasa oleh tersangka) berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
 b) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP memberikan hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
        Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP bahwa yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hak untuk mengajukan pemeriksaan praperadilan kepada penuntut umum dalam hal penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, pada hakekatnya telah sesuai dengan prinsip pengawasan yang diinginkan dalam KUHAP. Selain adanya pengawasan secara vertikal yang dilaksanakan oleh atas dari instansi yang bersangkutan, ada pula pengawasan secara horisontal, dari sesama aparat penegak hukum. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan secara eksplisit oleh KUHAP. Secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana adalah saksi yang menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan sehingga dalam hal ini maka saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada praperadilan.
c)     Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Bila dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi pengawasan secara timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum diberikan hak untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam KUHAP, telah diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dengan demikian, jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum kepada praperadilan.
 d)   Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada praperadilan atas alasan:
        1)  Penangkapan atau penahanan tidak sah;
        2)  Penggeladahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah;
        3) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
 e)    Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (2) KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi karena sahnya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
Jika praperadilan memutuskan bahwa penghentian penuntutan itu sah, maka hal tersebut menjadi dasar bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada praperadilan.
 f)    Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
        1) Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
      2) Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan.

E.     FUNGSI PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
        Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara peraturan itu sendiri lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman guna menggantikan produk perundang-undangan zaman kolonial yakni Herziene Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB) dengan produk Indonesia merdeka. HIR atau RIB itu dinilai sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap kali dapat diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya kesempatan untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pemeriksaan pendahuluan oleh Penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati hak-hak Tersangka[6]
Tujuan utama dari Praperadilan sangat erat dengan dilaksanakannya pengawasan dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan perhatian dan tempat yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat tidak mustahil hak asasi manusia akan ditindas oleh kekuasaan. Selama hal ini tidak terhindarkan, pihak polisi yang banyak tersangkut dalam Praperadilan. Harus diakui banyak hal tindakan-tindakan oknum-oknum polisi membuat masyarakat menjadi prihatin, tindakan yang memakai upaya paksa dan penyiksaan dalam memperoleh pengakuan dan barang bukti dari tersangka. KUHAP mengatur wewenang penyidikan diberikan sepenuhnya kepada Kepolisian, maka pengawasan atas tindakan-tindakan penegak hukum ini harus diadakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Praperadilan melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri (Pasal 77 KUHAP). Dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dibantu oleh seorang panitera. Adapun tugas-tugasnya meliputi:
Memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan (Pasal 79 KUHAP).
Memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 80 KUHAP).[7]
Memeriksa permohonan ganti-rugi atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP).
Berdasarkan tugas-tugas tersebut tercermin bahwa Praperadilan mengemban fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan penyidikan dan penuntutan. Yaitu pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap Polisi dan terhadap Jaksa. Pengawasan ini termasuk pengawasan horisontal, merupakan kontrol dari instansi yang sejajar dan tidak hierarkis dalam jajarannya. Dengan Lembaga Praperadilan maka hukum acara pidana memiliki fungsi pengawasan baik terhadap perilaku warga masyarakat maupun terhadap perilaku para penegak hukum yang berperan dalam proses bekerjanya secara pidana. Oleh karena itu Praperadilan dimaksudkan sebagai pengawasan horisontal oleh Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas Penyidik dan Penuntut Umum, terutama menyangkut pelaksanaan upaya paksa. Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris peradilan, bukan pula wasit yang mengadili sengketa hukum. Hakim dalam Praperadilan dipinjam karena diperlukan suatu fungsionaris netral untuk mengontrol penangkapan dan penahanan itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan mengganti atau mengalihkan tugas pengawasan terhadap penangkapan dan penahanan serta penghentian penyidikan dan penuntutan dari Kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada Hakim Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral.
F.     RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.










DAFTAR PUSTAKA
Adnan Nasution. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3S.
Ervan Saropie. 2009. Lembaga Hakim Literatur. Fakultas Hukum Universitas
            Indonesia.
Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Oemar Seno Adji. 1980. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.
Ratna Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta. CV. Akademika Presindo.


[1] Ervan Saropie, Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
[2] Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1988.
[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 1.
[4] Oemar Seno Adji,  Hukum, Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 88.
[5] Lintong Oloan Siahaan. Jalannya Peradilan Prancis LEbih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1981, hlm. 92-94.
[6] Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: CV. Akademika Presindo, 1986), hal. 75
[7] 39Darwan Prinst (b), S.H., Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet. 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2




 SUMBER :  http://khumairaraa.blogspot.co.id/2015/04/makalah-hukum-dan-praperadilan.html?showComment=1444013935914#c1683027747952405160 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Definisi Transportasi Menurut Para Ahli

ASAS dan PERJANJIAN DALAM PENGANGKUTAN

HUKUM ASURANSI KREDIT